Menjelang 1 Ramadan, Observatorium Bosscha Amati Bulan Sabit Muda

Astronom melakukan pengamatan hilal di Observatorium Bosscha, Bandung, 26 Mei 2017. Hilal tidak terlihat saat pengamatan di Observatorium Bosscha Lembang karena terhalang awan. TEMPO/Prima Mulia
Astronom melakukan pengamatan hilal di Observatorium Bosscha, Bandung, 26 Mei 2017. Hilal tidak terlihat saat pengamatan di Observatorium Bosscha Lembang karena terhalang awan. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Bandung - Menjelang 1 Ramadan, Observatorium Bosscha mengamati penampakan bulan sabit muda, Selasa, 15 Mei 2018. Pengamatan berlangsung di dua lokasi, yakni Observatorium Bosscha di Lembang serta di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Baca: Sambut Ramadan, Kiat Mengenalkan Puasa pada Anak

Direktur Observatorium Bosscha Premana Premadi mengatakan, sebagai institusi pendidikan dan penelitian di bidang astronomi, Observatorium Bosscha melaksanakan kegiatan pengamatan bulan sabit muda pada hampir setiap bulan.

"Bulan sabit yang ingin diamati pada hari ini merupakan penanda beralihnya bulan Syaban ke bulan Ramadan dalam kalender 1439 Hijriah," katanya, Selasa.

Kalender Hijriah merupakan sistem penanggalan yang mengacu pada siklus periodik fase bulan. Urutan kemunculan fase bulan digunakan sebagai penanda waktu dan periode dalam kalender lunar.

Bulan sabit menjadi penanda awal atau akhir bulan, sedangkan purnama menandakan pertengahan. "Satu bulan pada kalender lunar ditetapkan sebagai panjang waktu atau periode satu siklus bulan mengelilingi Bumi, yakni selama rata-rata 29,53 hari," kata staf pengajar Astronomi di Institut Teknologi Bandung itu.

Penghitungan hari dalam kalender Hijriah, menurut Premana, dimulai saat matahari terbenam. Adapun penetapan awal bulan pada kalender Hijriah dimulai setelah terjadi konjungsi, yaitu saat posisi bulan dan matahari berada pada posisi garis bujur ekliptika yang sama.

Konjungsi ditetapkan sebagai batas astronomis antara bulan yang sedang berlangsung dan bulan berikutnya dalam sistem kalender lunar. Pada saat konjungsi, matahari, bulan, dan Bumi dalam konfigurasi segaris, sehingga bulan akan berada pada fase bulan mati dari pengamatan di Bumi.

Peralihan bulan dalam kalender Hijriah menjadi tantangan, kata Premana, ketika ditambahkan faktor dan kriteria melihat bulan sabit setelah konjungsi terjadi. Terlepas dari perbedaan kriteria yang muncul di masyarakat, keberhasilan pengamatan bulan sabit muda yang tipis secara astronomis merupakan kombinasi dari banyak faktor penentu.

"Antara lain posisi relatif bulan terhadap matahari dari posisi tertentu di permukaan bumi, usia bulan, porsi kecerahan bulan (iluminasi), dan tentu saja kondisi langit dan cuaca di sekitar horizon," kata Premana.

Pengamatan di Observatorium Bosscha, Lembang, akan dilakukan menjelang sore hari hingga bulan terbenam. Tujuannya adalah memverifikasi interpretasi data astronomis posisi bulan pada 15 Mei 2018. "Bulan akan diamati terbenam setelah atau menyusul matahari yang terbenam," katanya.

Sementara itu, pengamatan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dimulai pada pagi hari untuk penelitian. "Kondisi langit Kupang yang rata-rata sangat cerah diharapkan dapat memberikan data pengamatan yang baik untuk meneliti batas visibilitas (kenampakan) bulan sebagai fungsi dari elongasi dan ketebalan sabit bulan," katanya.

Pengamatan itu dilakukan dengan menggunakan teleskop dan detektor kamera berbasis CCD, yang dilanjutkan dengan proses pengolahan citra. Pengamatan di Kupang dilakukan di kampus Universitas Nusa Cendana, tepatnya di rooftop Asrama Rusunawa PPG UNDANA. Dari lokasi tersebut, bulan dapat terlihat hingga horizon barat.

Simak artikel lainnya tentang Ramadan di tempo.co.