Calon Pemudik Layangkan Petisi ke Menteri Perhubungan

Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur. TEMPO/Ika Ningtyas
Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur. TEMPO/Ika Ningtyas

TEMPO.CO, Banyuwangi - Calon pemudik dari Pulau Bali melayangkan petisi ke Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Direktur PT ASDP Danang S Baskoro. Jonan dan Danang diminta mencabut ketentuan tentang pemberlakuan dua tarif penyeberangan di Pelabuhan Gilimanuk, Bali, dan Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Jawa Timur, yang diberlakukan H-4 hingga H-1 Lebaran atau pada 13-16 Juli 2015.

Petisi tersebut dibuat oleh Lulut Joni Prasojo, calon pemudik dari Denpasar, Bali, pada Selasa 30 Juni 2015 melalui www.change.org.

Sejak dibuat, petisi tersebut saat ini sudah ditandatangani 200 calon pemudik. Lulut menjelaskan, dia sudah 15 tahun memakai layanan penyeberangan Gilimanuk dan Ketapang untuk mudik ke Banyuwangi, Jawa Timur.

Namun tahun ini, dia terkejut karena PT ASDP memberlakukan dua tarif berbeda pada siang dan malam hari. Pada malam hari, mulai pukul 18.00-06.00, tarif yang berlaku dua kali lebih mahal dari tarif normal. Sedangkan siang hari mulai pukul 06.00-18.00 berlaku tarif lebih murah.

Tarif normal untuk sepeda motor Rp 24.500 per unit dan mobil Rp 148.500 per unit. Sehingga bila menyeberang pada malam hari, tarif menjadi Rp 49 ribu untuk sepeda motor dan Rp 297 ribu untuk mobil.

Untuk mengurai kepadatan pemudik, menurut Lulut, seharusnya tidak dengan menaikkan tarif pada malam hari, melainkan dengan menambah jumlah kapal dan dermaga. Penyebab utama kemacetan karena jumlah armada kapal dan dermaga di kedua pelabuhan penyeberangan tersebut sangat kurang.

Biasanya pemudik sepeda motor bisa antri 2-5 jam, dan mobil 10-15 jam. “Bila pemudik datang siang hari tapi kena antrian 5-15 jam, maka pemudik akan tetap membeli tiket malam hari,” kata Lulut saat dihubungi wartawan, Kamis, 2 Juni 2015.

Menurut Lulut, kebijakan itu juga tidak adil karena hanya diberlakukan bagi pemudik yang memakai sepeda motor dan kendaraan pribadi. Padahal, tidak semua pemudik sepeda motor berasal dari keluarga mampu. Pemudik terpaksa memakai sepeda motor karena pemerintah tak mampu menyediakan transportasi publik yang nyaman dan murah.

Dengan pemberlakuan dua tarif tersebut, kata dia, PT ASDP diduga hanya memanfaatkan momentum mudik untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. “Kami mendesak agar Menhub mencabut kebijakan diskriminatif itu,” ujar Luhut.

Dalam laman http://www.indonesiaferry.co.id/, Direktur Utama PT ASDP, Danang S Baskoro, menjelaskan sistem dual tarif diterapkan agar bisa memecah konsentrasi pemudik, yang biasanya melakukan perjalanan malam hari.

Bila semua pemudik memilih malam hari, maka penumpukan kendaraan tidak bisa dihindari. “Kapasitas pelabuhan tidak cukup menampung arus kedatangan kendaraan yang meningkat luar biasa tiap tahun,” ucap Danang.

IKA NINGTYAS