Mesin Cetak Al-Quran Braille di Bandung, Tertua di Dunia

Operator memantau mesin press khusus untuk membuat plat naskah Al Quran Braille di percetakan Braille Wyata Guna, Bandung, Jawa Barat, 23 Juni 2015. Standar Al Quran Braille buatan Wyata Guna sudah sesuai dengan standar internasional. Untuk mengerjakan satu juz Al Quran diperlukan waktu sekitar 1 bulan. TEMPO/Prima Mulia
Operator memantau mesin press khusus untuk membuat plat naskah Al Quran Braille di percetakan Braille Wyata Guna, Bandung, Jawa Barat, 23 Juni 2015. Standar Al Quran Braille buatan Wyata Guna sudah sesuai dengan standar internasional. Untuk mengerjakan satu juz Al Quran diperlukan waktu sekitar 1 bulan. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Bandung - Beberapa pria sedang sibuk mengepak tumpukan kertas. Seorang pria lainnya sibuk dengan mesin tuanya. Dengan cekatan ia memasukkan kertas ke dalam mesin pres untuk membuat titik-titik timbul huruf Braille. Itulah gambaran pembuatan Al-Quran Braille di percetakan Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG) yang terletak di Jalan Pajajaran, Bandung.

YPWG merupakan satu-satunya percetakan yang mencetak Al-Quran Braille dengan mesin konvensional. Didirikan oleh Sri Sudarsono, adik presiden ke-3 Indonesia B.J. Habibie, dan Rosikin, seorang tunanetra serta beberapa orang lainnya.

Kepala percetakan YPWG, Ayi Ahmad Hidayat, mengatakan Al-Quran Braille tersebut dicetak dengan mesin tua yang sering disebut Braille Press. Konon mesin tersebut merupakan mesin cetak Al-Quran Braille tertua dan satu-satunya yang masih berfungsi di dunia hingga kini.

"Mesin ini dari lembaga bernama Hellen Keller Internasional yang memesan mesin khusus tunanetra. Dibuat hanya enam unit dan disebar ke seluruh dunia. Salah satunya ke Indonesia. Dan ini satu-satunya yang masih berfungsi," kata Ayi di kantor percetakan YPWG, Jalan Pajajaran, Bandung, Selasa, 23 Juni 2015.

Dalam pembuatannya Al-Quran Braille ini harus melalui beberapa tahap. Pertama, menyalin naskah Al-Quran biasa ke huruf Braille dengan mesin bernama Stereo Tiper. Kedua, hasil salinan dikoreksi, setelah fix baru digandakan dengan mesin Braille Press. Setelah melewati tahapan tersebut barulah Al-Quran Braille dijilid per juz.

Ada yang unik dalam membaca Al-Quran Braille tersebut. Bila biasanya Al-Quran dibaca dari kanan ke kiri, maka Al-Quran Braille dibaca dari kiri ke kanan. "Bacanya beda ini dari kiri ke kanan," kata Ayi.

Satu set Al-Quran Braille tersebut dibanderol dengan harga Rp 1,5 sampai Rp 1,8 juta dengan berat bisa mencapai 25 kilogram per set.

YPWG bisa mencetak tiga sampai empat set Al-Quran Braille. Dalam setahun bisa mencetak sampai 1.000 set yang disebar ke seluruh Indonesia. Al-Quran Braille ini juga diekspor ke beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Kuwait, dan Iran.

Menurut Ayi, hasil tersebut dinilai lebih produktif daripada mesin modern dengan metode print out. Dari kualitas pun, hasil cetak konvensional dinilai lebih baik dari hasil cetak modern.

Namun percetakan Al-Quran Braille tak luput dari kendala. Karena mesin terhitung sudah tua, mesin tersebut sering rusak. Maka untuk menjaga keawetan mesin, Ayi selalu menyediakan stamplet dan oli.

"Kadang-kadang mesinnya ngadat, namanya juga mesin tua. Tapi sekarang kami sudah tahu. Tinggal siapkan stamplet, oli, dan doa," ujar dia, tersenyum.

Ayi mengatakan bahwa pekerjaannya membuat Al-Quran Braille merupakan bentuk pengabdiannya pada agama dan kepeduliannya pada kaum tunanetra.

"Bekerja membuat Al-Quran Braille merupakan panggilan hati saya. Saya sangat terinspirasi oleh beberapa kaum tunanetra yang walaupun dalam keterbatasannya masih semangat belajar Al-Quran," ujarnya.

Dia berharap semakin banyak orang yang peduli terhadap kaum tunanetra dan banyak menghibahkan hartanya dalam bentuk Al-Quran Braille. "Semoga semakin banyak yang hibah Al-Quran Braille," ujarnya.

ROBBY DARMAWAN