Dosen UGM Minta Semangat Ramadan Tak Kebablasan

Editor

Nur Haryanto

Kampoeng Ramadan Jogokaryan yang mengadakan aneka kegiatan untuk meramaikan bulan suci Ramadhan di Yogyakarta (12/7). Tempo/Anang Zakaria
Kampoeng Ramadan Jogokaryan yang mengadakan aneka kegiatan untuk meramaikan bulan suci Ramadhan di Yogyakarta (12/7). Tempo/Anang Zakaria

TEMPO.CO, Jakarta - Achmad Munjid, dosen Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Pascasarjana UGM, mengkritik semangat Ramadan yang sedikit kebablasan. Bukan semangat ibadahnya, tapi soal lebay-nya penggunaan kata-kata yang hiperkoreksi sampai praktek sosial. Ini penuturannya:

Ramadan, tentu saja, selalu istimewa bagi umat Islam yang menjalaninya. Hal itu bisa terlihat dari aneka spanduk dan poster di berbagai sudut kota. Simak beberapa di antaranya: “Sholawatan Songsong Romadlon Bersama”, “Ramadhan Al-Mubarok”, “Mari Tingkatkan Amal Sholih”, dan “Inilah Bulan yang Penuh Barokah”.

Lebih dari soal baku atau tidak menurut aturan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan “Sholawat”, “Romadlon”, “Barokah”, “Shodaqoh” itu adalah contoh bentuk hiperkoreksi. Itulah kesalahan penggunaan bahasa akibat tindakan berlebihan untuk menonjolkan apa yang disangka benar. Sok benar, tapi malah salah.

Kesalahan penulisan itu tidak ada kaitannya dengan soal transliterasi demi mempertahankan ketepatan antara tulisan dan bunyi ucapan asal kata. Sebab, kata-kata yang digunakan di situ adalah kata-kata serapan, bukan lagi istilah murni bahasa Arab.

Kesalahan tersebut lebih karena hal-hal berikut ini. Bahasa itu seumpama pasar. Dalam hal ini, semakin tinggi tingkat konsumsi seseorang atau kelompok atas jenis bahasa semacam itu, seakan menjadi tengara kuatnya identitas keislaman. Bahkan, tingkat religiusitas pemakainya. Ia dianggap menjadi ukuran tingkat kesalehan.

Pierre Bourdieu menyatakan makna suatu kata tidak semata ditemukan, terutama di dalam kamus, tetapi juga ditemukan dalam lokasi dan hubungan-hubungan sosial di mana kata itu digunakan. Soalnya, kini kenapa banyak orang terjebak dalam tindakan hiperkoreksi?

Kita tahu, sejak tragedi pembantaian anggota PKI pada 1965, sikap beragama kerap menjadi tindakan yang politis. Tidak beragama bisa menyeret seseorang terkena cap PKI. Risikonya ancaman kematian. Lalu, ketika gelombang re-islamisasi mengalami pasang naik, terutama setelah berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990, umat Islam mengalami euforia. Mereka ingin mengibarkan bendera agama tinggi-tinggi. Kali ini, yang tak “Islami” bisa berarti “tak berhak mendapat bagian”, “tersingkir”, atau bahkan dianggap “memusuhi Islam”.

Apa yang terjadi ketika gelombang Islam mengalami pasang naik di negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seantero dunia ini? Ibarat cendawan di musim hujan, sejak saat itu gegap-gempita segala macam lembaga, media massa, bank, rumah sakit, sekolah, partai politik, dan aneka produk berusaha tampil “islami”. Akan tetapi, seperti gejala konsumen yang mengalami disorientasi di tengah jutaan aneka komoditas, kini sebagian penduduk muslim merasa galau di tengah melimpah-ruahnya aneka produk yang serba “islami” itu.

Dalam hal ini, hiperkoreksi adalah bagian dari ungkapan untuk menonjolkan apa yang dianggap lebih islami, di tengah riuhnya aktivitas konsumsi yang serba Islami. Ia bukan cuma wajar, bahkan mungkin dianggap lebih meyakinkan. Dengan melakukan tindakan hiperkoreksi, sebagian orang merasa bisa menjadi bagian dari keriuhan pasar produk bahasa agama, sekaligus menjadi bagian dari arus utama.

Betapa pun, ia tetap salah, baik ketika dilihat secara sempit sebagai soal penggunaan bahasa maupun sebagai praktek sosial. Jangan lupa, aksi sweeping yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) adalah juga versi hiperkoreksi dalam bentuk praktek sosial.

Jadi, jangan terjebak dalam bentuk lahir yang sok benar. Entah itu sok baik dalam hal bahasa entah tindakan-tindakan yang menggunakan cap agama.(*)

Topik Terhangat:
Bayi Kate Middleton |
Front Pembela Islam | FPI | Bisnis Yusuf Mansur | Aksi Chelsea di GBK | Daging Sapi Impor

Berita Terpopuler:
Ada Jin Bermain Twitter? 

Chelsea Terancam Batal Tampil di GBK

Tweet Soal FPI, Fahira Idris: Saya Bukan Jubir 

KPK Tangkap Pengacara Kondang 

Brimob Serbu Sabhara, Kapolda Jateng Turun Tangan