Ada Rendang dan Opor di Korea

TEMPO/Dianing Sari
TEMPO/Dianing Sari

TEMPO.CO, Seoul - Berlebaran di negeri orang adalah masa pupusnya impian makan opor ayam, sambal goreng hati ampela bertabur petai, dan kerupuk. Itulah kesan pertama yang saya bayangkan ketika harus merayakan hari kemenangan di Korea Selatan.

Tapi harapan itu masih ada ketika tiba-tiba saya mendapat undangan makan bersama bakda Lebaran dengan warga Indonesia yang sudah tinggal lama di Seoul. Tanpa berpikir lagi, saya mengiyakan ajakan tersebut sebagai penawar rindu rasa lidah Indonesia.

Adalah Ibu Ima Yunita, perempuan akhir 40 tahunan yang menjadi tuan rumah kami. Ia menikahi pria Korea Selatan dan memiliki tiga putri. Rumahnya hanya berjarak 30 meter dari masjid terbesar di Seoul, Itaewon.

Sebuah rumah khas di tengah Kota Seoul dengan bentuk persegi, tanpa halaman dan pagar tertutup. Ketika kami datang pukul 12.00, aroma opor sudah menyambut dari pintu masuk. Di dalam rumah seluas 45 meter persegi itu ternyata sudah ada warga Indonesia yang lain. Mereka mayoritas perempuan Indonesia yang sudah menikah dengan orang Korea.

Acara diawali dengan salam-salaman dan tukar kabar. Lalu kami disambut camilan khas Indonesia, sale pisang, dan keripik singkong. Saya lahap mengambil sale karena hampir tiga pekan tidak bertemu makanan rasa Indonesia.

Kejutan belum selesai. Dari dapur, Ibu Ima sedang mengaduk gulai nangka muda. Di meja makan tersaji rendang, opor ayam, sambal goreng jeroan ayam, gurame pedas, dan tentunya sambal. Nah, yang unik, sambal gorengnya bertabur petai. Ternyata petai pun bisa diperoleh di Seoul. Dari penuturan Ibu Ima, petai dijual dalam kondisi beku.

Tepat pukul 12.45, acara inti dimulai, yakni makan besar. Tamu-tamu pun terus berdatangan. Ada tenaga kerja Indonesia, ada mahasiswa, dan ada pula mualaf dari Korea. Ibu Ima ternyata sosok yang populer. Dia sering membantu warga Indonesia dan mualaf yang berikrar di Masjid Itaewon.

Barikatul Hikmah, 27 tahun, rekan saya, pun bertanya-tanya tentang acara ini. "Ini ada iurannya?" Karena kami datang atas undangan seorang teman, bukan dari Ibu Ima. Ternyata semuanya gratis, padahal di Seoul harga daging sapi paling mahal bisa Rp 400 ribu sekilonya.

Kenikmatan makan dan bercengkerama dengan orang Indonesia menjadi pelipur lara jauh dari kerabat di Tanah Air. Sayangnya, obat itu ternyata tak ditemukan teman kami, Adit Satriya, 36 tahun, mahasiswa semester dua Universitas SungKonghoe. Adit yang berusaha mencari rasa Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia ternyata harus pulang dengan masygul.

Kedutaan yang berlokasi di Yeouido-dong, Yeongdeungpo-gu, Seoul, itu, tahun ini tak ada edisi makan ketupat. "Tadi cuman dapat kue dan minuman saja," kata Adit yang iri mendengar cerita kami.

DIANING SARI

Berita Lain:
Idul Fitri, Pengunjung Borobudur Membludak
Takbiran Pontianak Dimeriahkan Meriam Karbit
Ancol Bersiap Hadapi Takbiran dan Idul Fitri
Kerangka Costa Concordia Jadi Wisata Bencana
Berbagai Atraksi Liburan Lebaran di Sea World
Besok, Pengunjung Candi Prambanan Wajib Pakai Kain