Puitisasi Al-Quran Malam Sastra Seribu Bulan  

Al-Quran. thaimuslim.com
Al-Quran. thaimuslim.com

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pentas Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta menggelar “Malam Sastra Seribu Bulan”, dengan acara puitisasi terjemahan Al-Quran karya Muhammad Diponegoro, di Amphi Teather Taman Budaya Yogyakarta pada Sabtu malam, 28 Juli 2012. Muhammad Diponegoro adalah cerpenis kawakan asli Yogyakarta yang meninggal pada awal 1990-an.

Sejumlah mahasiswa wakil beberapa komunitas sastra dari Universitas Ahmad Dahlan dan Universitas Negeri Yogyakarta terlibat dalam pembacaan puitisasi terjemahan Al-Quran ini. Mereka membacakan terjemahan Muhammad Diponegoro pada ayat-ayat mengenai peringatan Tuhan dan hari pembalasan.

Fitri Merawati, misalnya, membacakan terjemahan ayat mengenai firman Allah yang menjelaskan peringatan dan petunjuknya bagi manusia. Penggalan bait bacaan Fitri antara lain, “Mereka terus bersitegang, sombong, dan enggan. Jadi manakah yang mendapat petunjuk paling banyak, orang yang berjalan terjerembap atau orang yang menyusur jalan lempang melangkah tegap.”

Nasirin Badroon, pembaca puisi tentang hari kebangkitan setelah kiamat, membaca bait terjemahan ayat yang berbunyi: “Ia bertanya kapan hari kebangkitan. Maka, ketika penglihatannya menjadi nanar dan bulan menjadi redup pudar, lalu matahari dan bulan saling dipertemukan, dan manusia berujar ke mana harus lari...”

Ketua SPS Yogyakarta Hari Leo mengatakan, selama ini, pementasan pembacaan puitisasi terjemahan Al-Quran masih jarang muncul. Karena itulah, “Malam Sastra Seribu Bulan” kali ini memilih pembacaan puisi sebagai acara utama Ramadan tahun ini. “Ramadan tahun lalu kita pentaskan musik-musik religius,” ujar dia.

Selama ini, kata Hari, terjemahan puitis Al-Quran karya Muhammad Diponegoro merupakan salah satu yang paling awal muncul di Indonesia. Karyanya lahir pada periode 1970-an atau mendahului karya serupa garapan H.B. Jassin yang dilarang beredar. “Karakter dia (Muhammad Diponegoro) sebagai cerpenis ulung terlihat kuat di bentuk puitisasi terjemahan ini.”

ADDI MAWAHIBUN IDHOM