Anjangsana ke Masjid Jogokaryan

Editor

Nur Haryanto

Kampoeng Ramadan Jogokaryan yang mengadakan aneka kegiatan untuk meramaikan bulan suci Ramadhan di Yogyakarta (12/7). Tempo/Anang Zakaria
Kampoeng Ramadan Jogokaryan yang mengadakan aneka kegiatan untuk meramaikan bulan suci Ramadhan di Yogyakarta (12/7). Tempo/Anang Zakaria

TEMPO.CO , Jakarta - Keriuhan selalu marak di kawasan Masjid Jogokaryan, Yogyakarta, saban bakda Ashar. Seperti terlihat pada Selasa petang, 9 Juli lalu, ribuan orang tampak tumpah-ruah memadati pelataran masjid yang tegak di tengah permukiman warga itu. Jalan Jogokaryan, ruas sepanjang 1 kilometer menuju masjid, beralih menjadi pasar dadakan. Puluhan pedagang menggelar aneka barang, dari makanan dan minuman ringan, lauk pauk, serta jilbab dan peci.


Saking padatnya, andong yang ditumpangi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yoeke Indra Agung Laksana, saat itu hanya bisa merayap. Terpaksa sekelompok orang berjuang membelah kerumunan massa untuk membuka jalan. Sore itu, dia datang bukan untuk salat berjemaah, melainkan membuka Kampoeng Ramadhan Jogokaryan.


Gawean itu merupakan kegiatan tahunan guna memeriahkan bulan suci. Takmir (pengurus masjid) membangun gapura dan umbul-umbul guna menandai mulainya acara. Berlangsung sebulan penuh, panitia menggelar berbagai perhelatan, dari pasar sore, buka bersama dengan menyediakan 1.000 porsi makanan, khitanan massal, subsidi sahur, hingga pawai sepeda ontel. "Tahun ini adalah yang kesembilan kali," kata Muhammad Jazir, Ketua Takmir Masjid Jogokaryan.


Pasar sore akan selalu menjadi favorit warga. Tapi yang selalu mencuri perhatian adalah makanan yang bernama kicak. Inilah kudapan berbahan dasar beras ketan yang hanya dijual di bulan puasa di pasar-pasar tradisional.


Selain tempat berburu makanan takjil, pasar kaget ini menjadi lokasi ngabuburit segala kalangan. "Jalan-jalan sambil menunggu magrib," kata Rahma, siswa kelas 5 sekolah dasar di Krapyak, Bantul, yang datang bersama ibunya.


Jazir mengatakan ada 180 pedagang yang tercatat di pasar musiman tersebut. Meski demikian, dia memperkirakan jumlah sebenarnya mencapai dua kali lebih banyak. Sebab, lapak para penjual meluber hingga halaman dan teras rumah warga. "Kami tidak memungut biaya sewa," kata dia. Panitia bahkan memberi makanan saat beduk magrib.


Dari survei tahun lalu, omzet pedagang per lapak bisa mencapai Rp 400 ribu per hari. Jadi, bisa ditaksir selama sebulan peputaran uang di sana akan menembus angka miliaran. "Sampai Rp 3 miliar," kata Jazir.


Dia berharap pemerintah Yogyakarta memberi perhatian terhadap keramaian semacam itu karena banyak manfaatnya. Hubungan sosial antarwarga kian kuat, perekonomian penduduk pun sedikit terangkat. "Apalagi sekarang masyarakat baru terpukul oleh kenaikan harga bahan bakar minyak," ujar Jazir. "Semoga tahun ini omzet mereka lebih besar dibanding tahun lalu."


ANANG ZAKARIA (YOGYAKARTA)