Ini Cerita Pilot Saat Puasa Ramadan

Editor

Nur Haryanto

Foto matahari terbit ini ini diambil oleh Karim Nafatni, seorang pilot pesawat komersial asal Dubai yang hobi fotografi, dalam penerbangannya menuju Chittagong Bangladesh pada ketinggian 37.000 kaki di atas permukaan laut. Karim Nafatni-dailymail.co.uk
Foto matahari terbit ini ini diambil oleh Karim Nafatni, seorang pilot pesawat komersial asal Dubai yang hobi fotografi, dalam penerbangannya menuju Chittagong Bangladesh pada ketinggian 37.000 kaki di atas permukaan laut. Karim Nafatni-dailymail.co.uk

TEMPO.CO , Jakarta - Hasfrinsyah menggenggam secangkir kopi. Kemudian pramugari menghampirinya, "Pakai krimer atau gula kapten?" Selanjutnya, pramugari itu mengambilkannya sendok kecil dan dua paket gula, sambil kembali bertanya. "Buka puasa berapa menit lagi kapten?". Ia menjawab: "Beri tahu penumpang, waktu berbuka sudah tiba," kata pilot senior Garuda Indonesia itu, saat mengisahkan pengalaman puasanya ke Tempo, Kamis lalu.


Tak ada suara adzan apalagi bedug yang merdu. Suasana dalam kokpit juga sepi. Cuma ada ko-pilot dan pramugari. Di luar, deru mesin pesawat meraung-raung membelah langit.


Sembari mengunyah kurma, Hasfrinsyah terus "online" di radio, untuk memantau informasi. Auto pilot dinyalakan, dan ia memulai tayamum--wudu tanpa air. "Di pesawat, air itu terbatas," ujar pria berusia 58 tahun ini.


Bagi Apin, sapaan akrabnya, puasa saat mengudara jadi cerita unik. Itu karena adanya perbedaan waktu antar negeri yang ia lintasi. Biasanya, ia melakukan apa yang semua muslim lakukan selama berabad-abad sebelum jam tangan populer, yaitu: melihat jendela. "Jika langit tampak hitam, itu tanda berbuka," tuturnya, lantas tertawa.


Sebenarnya, di dalam pesawat, ada buku petunjuk soal waktu  yang sering digunakan pilot. Cara lain pilot biasanya adalah bertanya ke darat melalui komunikasi radio. Tapi, kata dia, itu berlaku hanya untuk penerbangan domestik. Jika internasional, agak sulit.


Prinsipnya, ia menambahkan, ketika berada di udara, penentuan matahari terbit dan tenggelam bergantung pada keyakinan pilot. "Harus yakin menentukan waktu yang kita beritahukan ke penumpang," kata Presiden Federasi Pilot Indonesia (FPI) ini.


Yang terang, dirinya lebih senang terbang ke benua Australia (Timur), karena waktu berbukanya akan lebih cepat. Sebaliknya, kalau terbang ke Barat, seperti Amsterdam atau Jeddah, maka waktu berbukanya akan lebih lama. "Kalau ke barat, waktunya jadi mundur, karena justru nyamperin matahari yang mau tenggelam," kata ayah tiga anak ini.


Ia mengakui, fisiknya tak selamanya fit. Namun ia memiliki strategi untuk mengatasinya. "Kicauan" dan gurauannya bersama para awak dikurangi agar staminanya terjaga. Tapi,


secara jujur, ia mengatakan, puasanya tidak selalu bisa penuh sebulan. Biasanya ia akan ganti di lain waktu. "Ya bayangkan, dinas jam 5 subuh, sementara kita harus terbang 9 jam per hari," katanya.


Menurut pakar kesehatan penerbangan, Wawan Mulyawan, pilot dapat tetap berpuasa asalkan gula darah dalam tubuhnya tidak turun. Kondisi itulah, yang membuat seseorang lemah dan mengantuk. Menunggangi pesawat, kata dia, amat membutuhkan konsentrasi tinggi. "Sebab itu, awalilah berbuka dengan minuman hangat dan manis untuk meningkatkan kadar gula darah," katanya di kesempatan terpisah, Jumat lalu.


Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan bahwa para pilot diperbolehkan tidak berpuasa selama Ramadhan, namun harus membayar "fidyah" di hari lain. "Pilot boleh meninggalkan puasa sebagai rukhshah safar (keringanan karenan bepergian)," kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni`am Sholeh, Jumat lalu.


HERU TRIYONO